Bab 14 – Pernikahan, Perceraian, dan Pernikahan Kembali
Posisi Gereja dalam Hal Perceraian dan Pernikahan Kembali
Mengakui ajaran-ajaran Alkitab tentang pernikahan, Gereja menyadari bahwa banyak kasus hubungan pernikahan itu jauh dari apa yang diharapkan. Problem perceraian dan pernikahan kembali dapat dilihat dalam terang yang sesungguhnya hanya sebagaimana dipandang dari sudut pandang surga dan bertentangan dengan latar belakang Taman Eden.
{PJ 220.1}Pusat dari rencana kudus Allah untuk dunia kita adalah penciptaan makhluk yang dijadikan menurut peta-Nya yang akan berkembang biak dan memenuhi bumi dan hidup bersama dalam kemurnian, keharmonisan, dan kebahagiaan. la menjadikan Hawa dari tulang rusuk Adam dan memberikannya kepada Adam untuk menjadi istrinya. Demikianlah pernikahan itu dilembagakan – Allah pendiri lembaga itu, Allah yang melaksanakan pernikahan yang pertama. Setelah Tuhan menunjukkan kepada Adam bahwa Hawa benar-benar tulang dari tulangnya dan daging dari dagingnya, tidak akan pernah timbul keragu-raguan dalam pikirannya bahwa mereka berdua adalah satu daging. Juga tidak akan pernah muncul dalam pikiran pasangan yang suci itu keraguan bahwa Allah ingin rumah tangga mereka harus bertahan selama-lamanya.
{PJ 220.2}Gereja menganut pandangan tentang pernikahan dan rumah tangga ini tanpa syarat, meyakini bahwa segala usaha untuk merendahkan pandangan yang tinggi ini adalah juga merendahkan cita-cita surga. Yakin bahwa pernikahan adalah lembaga Ilahi berdasar pada Kitab Suci. Oleh karena itu, semua pemikiran dan pertimbangan yang membingungkan mengenai perceraian dan pernikahan kembali harus tetap disesuaikan dengan cita-cita suci yang dinyatakan di Eden.
{PJ 220.3}Gereja percaya pada hukum Allah; juga percaya pada rahmat pengampunan Allah. Gereja percaya bahwa kemenangan dan keselamatan dapat diperoleh oleh mereka yang telah melanggar dalam hal perceraian dan pernikahan kembali, sama dengan mereka yang telah gagal dalam standar kudus Allah yang lainnya.
{PJ 220.4}Tidak ada yang dibicarakan di sini dimaksudkan untuk meremehkan rahmat Allah atau pengampunan Allah. Dalam takut akan Allah, Gereja di sini menyusun prinsip-prinsip dan praktik yang harus dianut dalam hal pernikahan, perceraian, dan pernikahan kembali ini.
{PJ 220.5}Walaupun pernikahan itu mula-mula dibentuk oleh Allah, diakui bahwa manusia sekarang hidup di bawah pemerintahan sipil di dunia ini; oleh sebab itu, pernikahan itu memiliki aspek-aspek Ilahi dan sipil. Aspek Ilahi diatur oleh hukum Allah, aspek sipil diatur oleh hukum negara.
{PJ 221.1}Sesuai dengan pengajaran ini, ungkapan-ungkapan berikut ini menggambarkan posisi Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh:
{PJ 221.2}1. Ketika Yesus berkata, “Janganlah dipisahkan oleh manusia,” la menetapkan satu aturan tingkah laku bagi jemaat pada zaman kemurahan ini, yang melampaui semua undang-undang duniawi, yang mungkin mengadakan tafsiran yang bertentangan sehubungan dengan pernikahan. Di sini Tuhan memberikan peraturan kepada pengikut-pengikut-Nya, dan mereka harus taat pada peraturan itu bahkan jika negara atau adat yang berlaku memberi keluasan yang lebih besar. “Dalam Khotbah di Atas Bukit, Yesus dengan jelas menyatakan bahwa tidak boleh ada pembubaran dari ikatan pernikahan, kecuali karena tidak setia kepada sumpah pernikahan” – Khotbah di Atas Bukit, hlm. 73, 74. (Mat. 5: 32; Mat. 19:9).
{PJ 221.3}2. Ketidaksetiaan pada sumpah pernikahan umumnya berarti perzinaan atau percabulan. Namun, kata Perjanjian Baru untuk percabulan mencakup perilaku penyimpangan seks lainnya. (1 Kor. 6: 9; 1 Tim. 1: 9, 10; Rm. 1: 24-27). Dengan demikian, penyimpangan seksual, termasuk inses, pelecehan seksual kepada anak, praktik homoseksual, diakui juga sebagai penyalahgunaan kekuatan seks dan pelanggaran atas maksud Ilahi dalam perkawinan. Karena itu maka ini juga menjadi alasan bagi perceraian.
{PJ 221.4}Walaupun Kitab Suci mengizinkan perceraian karena sesuai dengan alasan yang telah disebutkan di atas, dan juga ditinggalkan oleh pasangan yang tidak percaya (1 Kor. 7: 10-15), usaha yang sungguh-sungguh harus dibuat oleh jemaat dan orang-orang yang peduli untuk mengadakan rekonsiliasi, mendesak pasangan itu untuk saling menunjukkan roh seperti Kristus yang mengampuni dan memulihkan. Jemaat didesak untuk menunjukkan kasih dan pengampunan terhadap pasangan itu untuk membantu dalam proses rekonsiliasi.
{PJ 221.5}3. Bila usaha rekonsiliasi tidak berhasil, maka pihak yang tidak bersalah itu berhak, menurut Kitab Suci, untuk menuntut perceraian, dan menikah lagi.
{PJ 221.6}4. Pihak yang melanggar sumpah pernikahan (lihat bagian 1 dan 2 di atas) akan dikenakan disiplin oleh jemaat. (Lihat hlm. 87, 88), Jika sungguh-sungguh bertobat, ia lebih baik dikenakan disiplin celaan untuk beberapa waktu daripada dikeluarkan dari keanggotaan. Bila ia tidak menunjukkan bukti pertobatan yang sungguh-sungguh maka ia harus dikeluarkan dari keanggotaan jemaat. Apabila pelanggaran itu telah membawa penghinaan kepada pekerjaan Allah dan gereja di antara masyarakat umum, maka demi mempertahankan nama baik dan martabat gereja, orang itu boleh dikeluarkan dari keanggotaan jemaat.
{PJ 222.1}Semua bentuk disiplin ini yang akan diterapkan harus dijalankan oleh jemaat dalam cara yang akan memungkinkan tercapainya dua tujuan disiplin jemaat memperbaiki dan menyelamatkan. Dalam Injil Kristus, sisi yang menyelamatkan dari disiplin itu selalu berhubungan dengan perubahan sungguh-sungguh dari orang berdosa menjadi suatu ciptaan baru dalam Yesus Kristus.
{PJ 222.2}5. Pihak yang telah melanggar janji pernikahan dan yang diceraikan, tidak mempunyai hak untuk menikah dengan orang lain selama pihak yang setia pada janji pernikahan masih hidup dan tetap tidak menikah serta tidak melanggar. Kalau ia (yang bersalah itu) menikah, ia harus dikeluarkan dari keanggotaan jemaat. Orang yang dinikahinya, jika ia seorang anggota, juga harus dikeluarkan dari keanggotaan jemaat.
{PJ 222.3}6. Diakui bahwa kadang-kadang hubungan pernikahan menjadi demikian memburuk sehingga lebih baik bagi pasangan suami istri itu bercerai. “Kepada orang-orang yang telah kawin aku tidak, bukan aku, tetapi Tuhan perintahkan, supaya seorang istri tidak boleh menceraikan suaminya. Dan jika akan bercerai, ia harus tetap hidup tanpa suami atau berdamai dengan suaminya. Dan seorang suami tidak boleh menceraikan istrinya” (1 Kor. 7: 10, 11). Dalam banyak kasus seperti itu, hak asuh anak-anak, pembagian harta milik, atau bahkan perlindungan pribadi mungkin memerlukan adanya perubahan status pernikahan. Dalam hal seperti itu mungkin dapat diizinkan untuk memperoleh apa yang dikenal di beberapa negara sebagai pisah secara hukum. Namun, dalam beberapa hukum sipil, pisah seperti itu hanya dapat diperoleh melalui perceraian. Perpisahan atau perceraian yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti kekerasan fisik atau kasus tidak disebabkan oleh “ketidaksetiaan pada sumpah pernikahan” (lihat butir 1 dan 2 di atas), tidak memberikan hak alkitabiah untuk menikah kembali pada kedua belah pihak, kecuali jika di antara waktu itu salah seorang telah menikah kembali; melakukan perzinaan atau percabulan; atau mati. Jika seorang anggota yang telah bercerai seperti itu menikah kembali tanpa dasar alkitabiah ini, maka ia harus dikeluarkan dari keanggotaan; dan orang yang ia nikahi, jika ia seorang anggota Gereja, akan juga dikeluarkan dari keanggotaan Gereja. (Lihat hlm. 87-93).
{PJ 222.4}7. Pihak yang telah melanggar sumpah pernikahannya, dan telah diceraikan dan dikeluarkan dari keanggotaan jemaat, dan telah menikah lagi, atau seseorang yang telah bercerai karena alasan yang tidak disebutkan pada butir 1 dan 2 di atas telah menikah kembali, dan telah dikeluarkan dari keanggotaan jemaat, haruslah dipandang sebagai orang yang tidak layak jadi anggota jemaat kecuali sebagaimana yang ditentukan di bawah ini.
{PJ 222.5}8. Hubungan pernikahan itu bukan hanya suci tetapi juga jauh lebih rumit, misalnya, bilamana itu melibatkan anak-anak. Oleh karena itu, bila ada permintaan untuk diterima kembali ke dalam keanggotaan jemaat, pilihan yang diberikan kepada orang yang bertobat itu sangat terbatas. Sebelum keputusan akhir diambil oleh jemaat, maka permintaan tersebut harus dibawa oleh jemaat melalui pendeta atau ketua distrik kepada komite konferens untuk mendapatkan petunjuk dan rekomendasi perihal langkah-langkah apa saja yang harus dijalani oleh orang yang bertobat itu agar penerimaannya kembali sebagai anggota jemaat berjalan aman.
{PJ 223.1}9. Penerimaan kembali keanggotaan orang-orang yang telah dikeluarkan dari keanggotaan jemaat oleh sebab alasan-alasan yang disebut di atas, haruslah pada dasar pembaptisan kembali. (Lihat hlm. 70, 94).
{PJ 223.2}10. Bila seseorang yang tersangkut dalam urusan perceraian akhirnya diterima kembali menjadi anggota jemaat, seperti yang dijelaskan dalam butir 8, maka untuk melindungi persatuan dan kerukunan jemaat haruslah benar-benar dijaga supaya kepada orang yang demikian tidak diberikan jabatan pemimpin; terutama jabatan yang menuntut upacara pengurapan, kecuali melalui pertimbangan yang sangat berhati-hati dari pimpinan konferens.
{PJ 223.3}11. Tidak ada pendeta yang berhak memimpin upacara pernikahan kembali dari siapa pun yang berpunca kembali menurut Kitab Suci, seperti telah dijelaskan dalam alinea-alinea yang terdahulu.
{PJ 223.4}