Bab 14 – Pernikahan, Perceraian, dan Pernikahan Kembali
Pernikahan
Pernikahan adalah suatu institusi Ilahi yang didirikan oleh Allah sendiri sebelum kejatuhan, pada saat segala sesuatu, termasuk pernikahan, adalah “sungguh amat baik” (Kej. 1: 31). “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kej. 2: 24). “Allah merayakan pernikahan yang pertama. Demikian peraturan itu berasal dari Khalik alam semesta. Pernikahan itu mulia;’ itulah karunia pertama dari Allah kepada manusia, dan itulah salah satu dari dua peraturan, yang setelah Adam berdosa membawanya ke seberang pintu gerbang Firdaus” – Membina Keluarga Bahagia, hlm. 24.
{PJ 216.1}Allah bermaksud agar pernikahan Adam dan Hawa menjadi contoh bagi semua pernikahan berikutnya, dan Kristus menyokong konsep asli tersebut dengan berkata: “Tidakkah kamu baca, bahwa la yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (Mat. 19: 4-6). Pernikahan, yang dilembagakan Allah, adalah monogami, suatu hubungan heteroseksual antara seorang pria dengan seorang wanita.
{PJ 216.2}Pernikahan adalah suatu komitmen seumur hidup dari suami dan istri kepada satu sama lain dan antara pasangan itu dengan Allah (Mrk. 10: 2-9; Rm. 7: 2). Paulus menyatakan bahwa komitmen yang dibuat Kristus untuk jemaat adalah suatu contoh hubungan antara suami dan istri (Ef. 5: 31, 32), Allah bermaksud agar hubungan pernikahan itu permanen sebagaimana hubungan Kristus dengan jemaat.
{PJ 216.3}Keintiman seksual dalam pernikahan merupakan suatu karunia yang kudus dari Allah kepada umat manusia. Itu merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari pernikahan, disediakan hanya untuk pernikahan (Kej. 2: 24; Ams. 5: 5-20). Keintiman tersebut, dimaksudkan hanya terjadi antara suami istri saja, meningkatkan keintiman, kebahagiaan, dan keamanan, dan menyediakan untuk kelanggengan bagi umat manusia.
{PJ 216.4}Kesatuan dalam pernikahan dicapai oleh saling menghormati dan mengasihi. Tidak ada yang unggul (Ef. 5: 21-28). “Pernikahan, suatu persatuan untuk kehidupan, adalah suatu simbol persatuan antara Kristus dan jemaat-Nya. Roh yang ditunjukkan Kristus kepada jemaat adalah roh yang harus ditunjukkan oleh suami dan istri terhadap satu dengan yang lain” – Testimonies, jld. 7, hlm. 46. Firman Allah mengutuk kekerasan dalam hubungan pribadi (Kej. 6: 11, 13; Mzm. 11: 5; Yes. 58: 4, 5; Rm. 13: 10; Gal. 5: 19-21). Adalah Roh Kristus untuk mengasihi dan menerima, berusaha saling menguatkan dan meninggikan pasangan, bukannya melecehkan atau merendahkan mereka (Rm. 12: 10; 14: 19; Ef. 4: 26; 5: 28, 29; Kol. 3: 8-14; 1 Tes. 5: 11). Di antara para pengikut Kristus tidak boleh ada kelaliman dan penyalahgunaan kekuasaan (Mat. 20: 25-28; Ef. 6: 4). Kekerasan dalam pernikahan dan keluarga adalah suatu yang menjijikkan (lihat Membina Keluarga Bahagia, hlm. 326, 327).
{PJ 216.5}“Baik suami maupun istri tidak boleh menuntut kekuasaan. Tuhan telah meletakkan prinsip untuk menuntun dalam hal ini. Suami harus mengasihi istrinya sebagaimana Kristus mengasihi jemaat. Dan istri harus menghormati dan mengasihi suaminya. Keduanya harus mengembangkan roh kebaikan, bertekad untuk tidak menyusahkan atau merugikan yang lain” – Testimonies, jld. 7, hlm. 47.
{PJ 217.1}Masuknya dosa merugikan pernikahan. Ketika Adam dan Hawa berdosa, mereka kehilangan kesatuan yang mereka miliki dengan Allah dan satu sama lain (Kej. 3: 6-24). Hubungan mereka ditandai dengan rasa bersalah, malu, saling mempersalahkan, dan rasa sakit. Di mana dosa berkuasa, pengaruhnya yang menyedihkan terhadap pernikahan mencakup pemisahan diri, ketidaksetiaan, pengabaian, pelecehan, penyimpangan seksual, dominasi satu pihak atas pasangannya, tindak kekerasan, perpisahan, pengkhianatan, dan perceraian.
{PJ 217.2}Pernikahan dengan lebih dari satu suami dan satu istri adalah juga ekspresi dari pengaruh dosa terhadap lembaga pernikahan. Pernikahan semacam itu, walaupun dipraktikkan di masa Perjanjian Lama, tidak sesuai dengan rancangan Allah. Rencana Allah untuk pernikahan menuntut umat-Nya untuk lebih baik daripada adat istiadat budaya populer yang bertentangan dengan pandangan Alkitab.
{PJ 217.3}Konsep pernikahan Kristiani mencakup hal-hal berikut:
{PJ 217.4}1. Cita-Cita Allah Dipulihkan dalam Kristus – Dalam menebus dunia dari dosa dan akibat dosa, Allah juga berusaha memulihkan pernikahan kepada cita-cita aslinya. Ini diharapkan terjadi dalam kehidupan orang-orang yang telah dilahirkan kembali ke dalam kerajaan Kristus, orang-orang yang hatinya telah disucikan oleh Roh Kudus dan yang tujuan utama kehidupan mereka adalah memuliakan Tuhan Yesus Kristus. (Lihat juga 1 Ptr. 3: 7; Khotbah di Atas Bukit, hlm. 64.)
{PJ 217.5}2. Kesatuan dan Persamaan Dipulihkan dalam Kristus – Injil menekankan saling mengasihi dan saling tunduk antara suami dan istri (1 Kor. 7: 3, 4; Ef. 5: 21). Contoh untuk kepemimpinan suami adalah kasih dan pelayanan yang penuh pengorbanan diri yang Kristus berikan kepada jemaat (Ef. 5: 24, 25). Baik Petrus maupun Paulus berbicara tentang perlunya saling hormat dalam hubungan pernikahan (1 Ptr. 3: 7; Ef. 5: 22, 23).
{PJ 218.1}3. Kasih Karunia Tersedia bagi Semua Orang – Allah berusaha memulihkan kepada kesempurnaan serta mendamaikan kepada diri-Nya sendiri semua orang yang telah gagal mencapai standar Ilahi (2 Kor. 5: 19). Ini mencakup mereka yang telah mengalami kehancuran hubungan pernikahan.
{PJ 218.2}4. Peran Jemaat – Musa dalam Perjanjian Lama dan Paulus dalam Perjanjian Baru menghadapi masalah yang disebabkan oleh pernikahan-pernikahan yang hancur (Ul. 24: 1-5; 1 Kor. 7: 11). Keduanya, sementara menegakkan dan meneguhkan cita-cita pernikahan, bekerja secara konstruktif dan bertujuan untuk menyelamatkan mereka yang telah jauh dari standar Allah. Demikian juga jemaat sekarang ini dipanggil untuk menegakkan dan meneguhkan cita-cita Allah untuk pernikahan, dan pada saat yang sama, menjadi satu umat yang mendamaikan, mengampuni, menyembuhkan, menunjukkan pengertian dan belas kasihan bila terjadi kehancuran pernikahan.
{PJ 218.3}